Monday, 15 March 2010

sepotong cerita romansa

 Kubah
Ahmad Tohari

 episode 35
Marni yang muncul bersama Tini dan kedua adik tirinya sudah sampai ke halaman rumah Bu Mantri. Ia berjalan menunduk. Marni segera menjadi pusat perhatian. Semua orang yang berada di sana diam. Hening. Dan suasana tiba-tiba berubah mencekam. Seolah-olah mereka menunggu sesuatu yang luar biasa akan terjadi.

Di pintu Marni mengucapkan salam. Pelan sekali. Kemudian matanya berkeliling mencari laki-laki yang baru pulang dari pengasingan di Pulau B itu. Karman bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang saja, tetapi nyata sekali tangannya bergetar. Perempuan yang selama dua belas tahun dirindukan sekarang berada di hadapannya. Yang selama itu pula menjadi angan-angannya. Yang tanpa dia Karman hampir bertekad memusnahkan dirinya sendiri. Di mata Karman Marni tetap cantik, atau bahkan lebih cantik karena kini sudah matang.

Apa yang sedang menyapu perasan Karman demikian pula yang dirasakan oleh Marni. Dan apabila Karman berhasil menguasai perasannya, Marni tidak. Bagaimana juga ia seorang perempuan. Ada sesuatu yang terasa mendidih dan meluap dalam dada Marni. Tubuhnya bergoyang. Lalu ia bergerak ke arah Karman. Mulutnya terbuka. Tetapi ada kekuatan yang mencegahnya bergerak lebih lanjut. Dari mulut Marni terdengar suara tertahan, “Mas... Mmmmas Karman!” 

episode 36

Hanya itu. Karena kemudian Marni tidak lagi bergerak. Ia berhenti dalam keadaan yang ganjil. Tangannya seakan-akan hendak menggapai ke depan, tetapi tubuhnya condong ke belakang. Beberapa detik Marni tetap demikian. Lama-lama tubuhnya goyang. Karman cepat menangkap tubuh Marni sebelum perempuan itu roboh ke tanah.

Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana yang mendadak bisu tetapi penuh haru-biru.

Yang pingsan belum siuman ketika Parta tiba di tempat itu. Dari jarak beberapa langkah orang sudah mendengar suara napasnya. Kedua bahunya turun-naik dengan berat. Sebelum masuk ia berhenti, bertelekan pada daun pintu. Siapa pun tidak dipedulikannya. Parta sedang berusaha agar tidak kehabisan udara. Wajahnya sudah merona biru. Tetapi ketika mendengar ribut-ribut di dalam, Parta masuk. Tergagap-gagap manakala ia tahu siapa yang tergeletak tak sadarkan diri. Suaranya terputus-putus antara tarikan napasnya.

Seorang laki-laki bangkit dan memaksa Parta duduk di sebuah kursi. Sesungguhnya laki-laki itu tidak perlu bertindak sekasar itu. Parta sudah lemas kehabisan tenaga. Ia terkulai, hanya bola matanya yang bergulir-gulir melihat kesibukan yang sedang terjadi.

Melihat Marni tidak juga siuman, Karman mengambil sebaskom air hangat. Kaki Marni direndamnya. Kemudian perlahan-lahan mata Marni terbuka. Berangsur-angsur napasnya normal kembali.

Sambil duduk kembali, Marni membenahi pakaiannya. Meskipun air matanya menetes kembali, tetapi ia kelihatan lebih tenang. Dipandangnya Karman yang masih berdiri di ujung dipan. Keduanya saling tatap dengan mata, dengan hati masing-masing. Pada saat seperti itu baik Karman maupun Marni, tak mungkin berbohong dan memungkiri perasan masing-masing. Namun keduanya hanya bisa menekan perasaan yang tiba-tiba menusuk dada. Dan menelan ludah.

Melalui tatapan dan air matanya, sejuta pesan hendak disampaikan Marni kepada Karman. “Oh, kau laki-laki yang pernah mengisi kesejukan di waktu mudaku. Dulu ketika aku menyerahkan diri­ku padamu, kamu telah membayarnya dengan kehangatan hidup yang membuatku merasa sangat beruntung. Kauikatkan diriku kepadamu dengan tiga orang anak, dengan tawa riang, dengan kedamaian. Oh, Karman, aku tahu kau tak pernah menginginkan perpisahan. Aku pun tidak, tetapi kita telah berpisah sekarang. Bahkan aku tidak bisa menyambut kepulanganmu kecuali dengan keadaanku yang memalukan, yang hanya menambah kegetiran hatimu. Maafkan aku, Karman, seperti dulu kau selalu berlaku demikian kepadaku. Maafkan aku.”